Teatrikal di Hadiri Oleh Ganjar Pranowo

Teatrikal di Hadiri Oleh Ganjar Pranowo

Teatrikal
Teatrikal di Hadiri Oleh Ganjar Pranowo

GlobalNews, Politikus PDI Perjuangan (PDIP) Ganjar Pranowo ada lihat tampilan teatrikal bertajuk ‘Kudatuli 27 Juli, Kami Tidak Lupa’ di Kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (27/7/2024).

Berdasarkan pantauan, Ganjar tiba di DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat sekira pukul 07.40 WIB dengan pakai sepeda. Ganjar mengenakan busana kaos berwarna hitam bertuliskan ‘Kudatuli’.

Selain Ganjar, sudah ada lebih dahulu Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Politikus PDIP sekaligus Menteri Hukum dan HAM atau Menkumham Yasonna Laoly, hingga Politikus PDIP yang terhitung Anggota DPRD DKI Jakarta Yuke Yurike.

Nampak pula ada Ketua DPP PDIP Eriko Sotarduga dan Ketua DPP PDIP Bidang Kesehatan, Ribka Tjiptaning.

Adapun tampilan teatrikal selanjutnya merupakan urutan aktivitas yang dijalankan PDIP untuk memperingati peristiwa serangan yang berjalan di kantor DPP PDI Perjuangan pada 27 Juli 1996.

Penampilan teatrikal diawali dengan pembacaan puisi oleh Sastrawan Amien Kamil berjudul ‘Penguasa’. Dalam puisi itu, Amin Kamiel bercerita mengenai beraneka peristiwa, terhitung hilangnya Penyair sekaligus Aktivis HAM Wiji Thukul.

“Pada hari ini kita sama-sama memperingati peristiwa 27 Juli 1996 adalah sebuah peristiwa bersejarah yang mana terhitung adalah sebuah tragedi kemanusiaan. Pada hari ini kita coba para martir yang sudah rela mengorbankan nyawa, memperjuangkan hati nurani, keliru satu korban pada peristiwa itu adalah seorang penyair yang bernama Wiji Thukul,” kata Amien Kamiel.

Amien Kamiel membacakan sajak demi puisi Widji Tukul berjudul ‘Penguasa’ itu dengan penuh semangat. Menutup puisinya, Amien Kamiel terhitung menyerukan Mega Pasti Menang.

“Mega Pasti Menang, Mega Pasti Menang. Merdeka,” ujar Amien Kamiel.

Tak hanya itu, tersedia pula tampilan Putra Wiji Thukul yang terhitung Solois Fajar Merah. Dia menyanyikan dua buah lagu yang ia ciptakan sendiri mengenai beraneka peristiwa politik yang merubah beraneka sektor kehidupan di Tanah Air.

Peringati Kudatuli, PDIP Desak Komnas HAM Nyatakan Sebagai Pelanggaran Berat

Ratusan kader dan simpatisan PDI Perjuangan lakukan longmarch sambil membawa spanduk dan bendera Merah Putih berasal dari kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro menuju ke Kantor Komnas HAM Jalan Latuharhary saat memperingati peristiwa Kudatuli, Jumat (26/7/2024).

Agenda selanjutnya didalam rangka mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menganjurkan peristiwa Kudatuli sehingga dinyatakan sebagai kasus pelanggaran HAM berat.

Dalam aksi ini, tak sekedar simpatisan PDIP terhitung turut diikuti oleh keluarga korban peristiwa Kudatuli. Mereka nampak kenakan kaus hitam dengan membawa bendera merah putih dan payung hitam.

Ketua DPP PDIP Djarot Syaiful Hidayat saat berorasi di depan Kantor Komnas HAM meminta Kudatuli tidak ulang berjalan pada pemerintahan yang dapat datang. Dia menegaskan, keadilan harus ditegakkan dan kebenaran harus disuarakan.

“Kami mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk menganjurkan kepada pemerintah sehingga peristiwa penyerangan Kantor DPP PDI Pro Mega di Jalan Diponegoro no 58 Jakarta Pusat pada tanggal 27 Juli 1996 ditetapkan sebagai kasus pelanggaran HAM berat dan jadi tanggung jawab pemerintah,” kata dia.

Ia menilai, di didalam kasus pelanggaran HAM berat kendati peristiwa penyerangan ini berjalan 28 tahun yang lalu tidak tersedia jaman kedaluarsanya.

Djarot mengatakan, penyerangan yang berjalan pada 27 Juli 1996 lalu itu merupakan bentuk intervensi politik pemerintah Orde Baru kepada kubu PDI Pro Mega.

Saat itu, rezim Orba disebut mendorong massa pro Soerjadi untuk lakukan penyerangan. “Akibat berasal dari penyerangan selanjutnya Komnas HAM menemukan fakta, 149 orang luka-luka. 9 orang tewas dan 23 orang hilang,” ungkap Djarot.

Menyelesaikan Kajian

Sementara, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Atnike Nova Sigiro mengatakan, pihaknya tengah selesaikan kajian peristiwa Kudatuli atau penyerangan pada kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia (DPP PDI) yang berjalan pada 27 Juli 1996 silam.

Menurutnya, hasil kajian selanjutnya dapat dibawa ke DPR RI. Dari situ, Komnas HAM dapat memilih apakah peristiwa selanjutnya masuk sebagai pelanggaran HAM berat atau tidak.

“Dalam tempo yang tidak amat lama, (diharapkan) kajiannya sudah selesai. Tetapi itu belum dibahas dan finalkan di tingkat paripurna,” ujar Atnike saat audiensi dengan perwakilan DPP PDIP di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat.

Atnike menuturkan, Komnas HAM menggarap kajian ini secara serius meski peristiwa penyerangan selanjutnya berjalan kira-kira 28 tahun yang lalu.

“Kami berkomitmen serius untuk mengerjakan kajian maupun nanti apa langkah-langkah ke depan yang dapat jadi ketentuan Komnas HAM,” kata dia.

Amnesty Internasional: Kudatuli Cermin Intervensi Politik Pemerintah

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyoroti kerusuhan 27 Juli 1996 atau yang dikenal sebagai peristiwa Kudatuli. Dia mengatakan, peristiwa selanjutnya merupakan produk berasal dari intervensi politik pemerintah.

Usman menjelaskan bahwa serangan pada Kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 27 Juli 1996 silam semestinya disebut “raid” atau penyerangan, bukan “riot” atau kerusuhan.

“Istilah serangan itu, itu perlihatkan tersedia satu pihak berasal dari otoritas keamanan dengan sekelompok preman yang secara sengaja pakai kekerasan, menyerang sekretariat PDI, dan pakai kekerasan untuk menghilangkan semua orang -orang yang tersedia di sana,” kata Usman didalam diskusi bertajuk “Kudatuli, Kami Tidak Lupa” di kantor DPP PDIP di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (20/7/2024).

Usman beri tambahan bahwa serangan selanjutnya bertujuan untuk menghilangkan kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, sebagai anggota berasal dari upaya penyingkiran oposisi politik.

“Jadi, hingga di titik itu, paham peristiwa 27 Juli adalah peristiwa yang lahir sebagai produk berasal dari intervensi politik kekuasaan, terhitung politik kekerasan negara berupa pengambilalihan paksa dan penangkapan, penyerangan, dan lain-lain gitu,” ucap dia.

Ia terhitung tekankan keterlibatan aparat keamanan didalam serangan tersebut, kendati lebih dari satu pakai seragam sipil.

“Tetapi, kalaupun aparat TNI jika pakai seragam sipil, aparat kepolisian terhitung masih paham pakai seragam formal dan turut lakukan penyerangan atau pembubaran aksi mimbar bebas yang tersedia di didalam areal kantor PDI kala itu,” ucap Usman Hamid.

GlobalNews